Rabu, 21 Desember 2016

Rukun-Rukun Sholat

RUKUN-RUKUN SHOLAT
Oleh : Hajar Huwaida

A.    Pendahuluan
Sholat merupakan pilar utama Islam. Ia merupakan ibadah yang paling dekat menghubungkan antara hamba dengan Rabbnya. Maka, tentu dalam pelaksanaanya, Islam, melalui Alqur’an dan sunnahnya telah mengatur sedemikian rupa, agar tiap gerak sendi kita saat sholat, bisa bernilai ibadah.
Mengenai segala permasalahan dalam sholat, para ulama telah membahasnya pada tema yang berjudul “Sifat-Sifat Sholat”
. Pembahasan tersebut mencakup rukun, syarat, dan sunnah sholat. Baik sunnah yang bersifat ab’adh (yang bisa digantikan dengan sujud sahwi), maupun hai’at  (yang tidak bisa digantikan dengan sujud sahwi).[1]
Pada makalah ini, penulis akan membahas tentang satu cabang permasalahan dari sifat sholat tersebut, yakni rukun sholat. Dalam pembahasan ini, terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam beberapa permasalahan. Disini penulis sengaja menuliskan perbedaan-perbedaan tersebut agar kita lebih bijak dalam menyikapi jika melihat seseorang yang berbeda sholatnya dengan kita.
B.     Definisi rukun sholat
Secara bahasa, rukun berasal dari kata الرّكن, yang berarti pokok dimana suatu hal berdiri di atasnya, atau hakikat dari sesuatu.[2] Sedangkan sholat, berasal dari kata صلّى-يصلّي-صلاة, yang berarti do’a, atau ibadah khusus yang memiliki batasan-batasan waktu pelaksanaan (yang telah diatur) dalam syari’at.[3]
Rukun sholat secara bahasa berarti pembahasan tentang pondasi sholat, yakni segala hal dimana sholat dibangun di atasnya. Adapun secara syar’i, rukun sholat yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang di dalam sholatnya, dan sholat tidak akan berdiri tanpanya.[4]
C.    Pembagian rukun sholat
Para ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang penggolongan rukun-rukun sholat,[5] diantaranya:
1.      Madzhab Hanafi
Menurut Hanafiyyah, rukun sholat terbagi menjadi dua, yaitu; Rukun Asli dan Rukun Tambahan. Rukun Asli yaitu rukun yang gugur jika seorang yang sholat tidak mampu untuk melakukannya. Sedangkan rukun tambahan yaitu rukun yang gugur dalam beberapa keadaan, meski ia mampu melaksanakannya.
Yang telah disepakati di antara mereka yakni, Rukun asli yaitu; berdiri, rukuk, dan sujud. Adapun rukun tambahan hanya satu yaitu membaca. Adapun duduk akhir dan tasyahud merupakan rukun tambahan, menurut pendapat yang paling rojih.
2.      Madzhab Maliki
Menurut Malikiyyah, fardhu sholat ada 15, yaitu; niat, takbiratul ihram, berdiri (pada sholat fardhu), membaca Al-Fatihah, rukuk dan bangkit darinya, sujud dan bangkit darinya, salam, duduk, tumakninah, i’tidal (tegak) di setiap bangkit dari rukuk dan sujud, tertib, niat mengikuti imam (untuk makmum).
3.      Madzhab Syafi’i
Rukun sholat menurut Syafi’yah terbagi menjadi 2; 5 bersifat qouliy (perkataan), 8 bersifat fi’liy (perbuatan). Adapun 5 rukun qouliy yaitu; takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah, tasyahud akhir, sholawat atas Nabi, dan salam pertama. Sedangkan 8 rkun fi’liy adalah; niat, berdiri (pada sholat fardhu), rukuk, i’tidal, sujud pertama dan kedua, duduk diantara keduanya, duduk akhir, dan tertib.
Adapun tumakninah, Syafi’iyah menganggapnya sebagai syarat pada saat rukuk dan i’tidal, serta sujud dan duduk di antara keduanya.
4.      Madzhab Hanbali
Fardhu sholat berjumlah 14, yaitu; berdiri, takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah, rukuk dan bangkit darinya, i’tidal, sujud dan bangkit darinya, duduk di antara keduanya, tasyahud akhir, duduk akhir, tumakninah (di setiap rukun fi’liy), tertib, dan dua kali salam.       
D.    Rukun-rukun sholat
1.      Niat
Niat adalah azzam (keinginan) yang kuat dari dalam hati utuk melakukan ibadah, sebagai bentuk taqorrub kepada Allah.[6]  Niat adalah penentu sah atau tidaknya amalan seseorang. Jika seseorang meniatkan sholat untuk selain Allah, maka sholatnya batal. Maka, hendaknya seorang yang sholat meniatkan sholatnya untuk Allah saja, karena Allah berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
“Mereka tidak diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas..” QS. Al-Bayyinah: 5  
Adapun jika seseorang mengalami kekhawatiran di tengah sholat, seperti orang sholat namun hatinya sibuk memikirkan urusan dunia, maka hal ini tidaklah merusak sholat. Namun hendaknya ia  berusaha menghilangkan pikiran yang merupakan bisikan dari setan tersebut.[7]
Niat adalah amalan hati, maka ia tidak cukup diucapkan secara lisan. Jika seseorang mengatakan –dengan lisannya- keinginannya untuk sholat, namun hatinya tidak meniatkannya, maka sholatnya tidak sah. Melafalkan niat adalah boleh, namun hanya untuk memantapkan hati saja.[8]
Maka, niat sholat mencakup dua aspek; 1. Keinginan dan azzam untuk sholat karena Allah (syarat sah sholat) , 2. Hadirnya hati dan menjauhkannya dari urusan dunia (bukan syarat sah sholat).
Ulama’ bersepakat bahwa sholat tanpa niat adalah tidak sah. Ulama berbeda pendapat dalam penggolongan niat -namun ini bukanlah masalah yang perlu diperselisihkan-. Malikiyah dan Syafi’iyah menggolongkannya sebagai rukun sholat, sehingga tanpanya, seseorang belum bisa dikatakan shalat secara mutlak. Adapun menurut Hanafiyah dan Hanabilah, niat merupakan syarat sah shalat, sehingga tanpanya, sholat batal.[9]
Syarat sahnya niat ada empat; 1. Islam, 2. Tamyiz (bisa membedakan sesuatu), 3. Kokoh, mantap (dalam berniat), 4. Tidak ragu.[10] Maka, jika di tengah sholat ia berniat membatalkannya –karena dipanggil seseorang mungkin-, berarti sholatnya telah batal.
Apa yang diniatkan saat sholat?
Secara garis besar, seorang yang sholat hendaknya meniatkan empat hal[11]:
a.       Niat untuk melakukan sholat
Hal ini bertujuan agar sholat yang dilakukan bernilai ibadah, tidak sekedar gerak badan biasa.
b.      Menentukan sholat apa yang akan ia dirikan
Yaitu me-ta’yin (menentukan) niatnya. Apakah ia ingin sholat Zhuhur atau Ashar. Tidak diperbolehkan bagi seseorang hanya meniatkan, “Aku akan sholat fardhu pada waktu ini.” Karena bisa jadi, ia sholat pada sore hari namun bukan untsuk sholat Ashar, melainkan men-qodho’sholat Zhuhur yang tadi siang belum ditunaikan.
c.       Meyakini akan kewajiban sholat tersebut
d.      Membedakan antara sholat adaa’ dan qodho’
Namun dalam hal ini, ada perbedaan pendapat. Yang paling shohih adalah menurut Ar-Rofi’iy, bahwa ini tidak disyaratkan, karena keduanya sebenarnya  sama saja. Seperti perkataan seseorang, “Aku telah menunaikan hutang,” dengan “Aku telah melunasi hutang.
     Kapan seseorang berniat untuk sholat?
Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan niat sebelum takbiratul ihram, asal tidak lama, dan telah masuk waktu sholat. Tidak apa juga menjedanya dengan aktifitas yang berkaitan dengan sholat, seperti wudhu.[12]
Syafi’iyah mewajibkan niat bersamaan dengan takbiratul ihram, karena ia adalah rukun sholat yang pertama.[13] Imam As-Syafi’i berkata, “Dan jika takbiratul ihram, hendaknya ia berniat (untuk sholat). (karena dimulaiya) sholat adalah saat takbiratul ihram, bukan sebelumnya, dan bukan setelahnya.”[14] Yaitu dengan meniatkan sholat dalam hati bersamaan dengan melafalkan takbiratul ihram dengan lisan, dan menyempurnakan niat hingga takbiratul ihram sempurna.[15]
Malikiyah mengenai hal ini terdapat dua pendapat, yaitu ; mewajibkan niat bersamaan dengan takbiratul ihram, dan membolehkan seseorang berniat sebelum takbiratul ihram asal tidak berjeda lama. Pendapat kedua adalah yang lebih benar, bersandar pada kesepakatan ulama Malikiyah bahwa mengedepankan niat sebelum takbiratul ihram dengan jeda yang lama adalah membatalkan sholat.[16]
Dalam hal ini, Imam an-Nawawy dan al-Ghozali[17] berpendapat bahwa cukup dengan mengartikan muqoronah (kebersamaan) menurut anggapan umum, yaitu saat seseorang telah siap untuk sholat dan tidak dalam kondisi lalai.[18]
2.      Takbiratul ihram
Allah berfirman,
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
“dan Rabbmu, agungkanlah (bertakbirlah).” QS. Al-Mudatsir: 3
Lafal كبّر adalah kalimat perintah, dan perintah dalam Al-Qur’an dihukumi sebagai suatu kewajiban. Maka, berdasar ayat ini, takbir adalah wajib. Dan tidak ada takbir kecuali takbir dalam sholat, sehingga takbiratul ihram dihukumi wajib.[19]
Yang dimaksud dengan takbiratul ihram yaitu melafalkan kalimat takbir sebagai tanda awal masuk sholat, sebagaimana sabda Rasul,
مفتاح الصلاة الطهور و تحريمها التكبير و تحليلها التسليم
“Kunci sholat adalah suci, pengharamannya (dari perbuatan lain) adalah takbir, penghalalannya adalah salam.” HR. Abu Dawud[20]
            Takbiratul ihram merupakan rukun sholat (Hanafiyah berpendapat ia adalah syarat sah sholat)[21] yang mana tidak akan sah sholat seseorang tanpanya, baik itu karena lupa atau sengaja. Takbiratul ihram harus dilafalkan.
Lafal dan syarat takbiratul ihram
Lafal takbiratul ihram, menurut ulama’ Maliki dan Hanbali adalah الله أكبر , dan sholat tidak sah jika menggunakan lafal selain itu. Dalil yang digunakan oleh Maliki adalah hadits Rasul,
مفتاح الصلاة الطهور و تحريمها التكبير و تحليلها التسليم
“Kunci sholat adalah suci, pengharamannya (dari perbuatan lain) adalah takbir, penghalalannya adalah salam.” HR. Abu Dawud[22]
Menurut Malikiyah, ال pada kata التكبير berarti pembatasan, sehingga Maliki berpendapat, tidak diperkenankan mengganti lafazh takbir selain  الله أكبر.[23]
Menurut Syafi’iyah, boleh bertakbir dengan الله الأكبر. Diperbolehkan menjeda antara الله dan أكبر dengan jeda yang pendek, dan yang menerangkan sifat Allah, seperti الله الجليل أكبر.[24] Dan boleh dengan menambahkan lafal lain setelah takbir, seperti الله أكبر كبيرا, karena ia adalah lafal takbir yang ditambah dengan dzikir, sedang sholat adalah dzikir.[25]
Adapun Hanafiyah membolehkan takbiratul ihram dengan menggunakan lafal apapun, asal merupakan suatu pengagungan terhadap Allah, seperti الله الجليل, الله العظيم .[26] Namun, Abu Hanifah melarang adanya huruf nida’ (يا الله) dan lafal do’a (اللهمّ).[27]
Syarat takbiratul ihram[28] diantaranya :
a.       Dalam keadaan berdiri tegak –bagi yang mampu-
b.      Dengan bahasa Arab, bagi yang mampu
c.       Menggunakan lafal jalalah (الله) dan (أكبر)
d.      Tertib dalam melafalkan takbir (tidak boleh bertakbir dengan الله أكبر)
e.       Tidak memanjangkan hamzah pada jalalah الله dan ba’ pada أكبار karena dapat merubah arti
f.       Tidak mentasydidikan بّ, tidak menambahkan  و-sukun maupun berharokat- pada lafal takbir, dan tidak merusak(mengganti) huruf-hurufnya
g.      Tidak berwaqof antara الله dan أكبر dengan waqof yang lama
h.      Harus didengar oleh –minimal- dirinya sediri
i.        Telah masuk waktu sholat
j.        Takbir makmum adalah setelah takbir imam selesai
Mengangkat tangan saat takbiratul ihram
Ulama’ sepakat bahwa mengangkat tangan saat takbir adalah sunnah. Namun ada juga beberapa fuqoha’ yang mengatakan bahwa mengangkat tangan adalah fardhu. Dalil yang dipakai kedua kelompok ini sama, yaitu riwayat dari Ibnu Umar,
كان رسول الله إذا قام للصلاة رفع يديه
“Adapun nabi, memulai sholat beliau mengangkat kedua tangannya.” HR. Muslim[29]
Namun mereka berbeda pendapat tentang batas seseorang mengangkat tangan. Hanafiyah berpendapat batas mengangkat tangan adalah sejajar dengan telinga. Sedang Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan sejajar dengan bahu, dan ini juga merupakan pendapat jumhur.[30]
Hanabilah membolehkan keduanya, yaitu sejajar dengan bahu –menurut pendapat yang masyhur- atau kedua telinga. Hujjah yang digunakan adalah hadits Ibnu Umar,
“Aku melihat Rasulullah jika memasuki sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya...” Muttafaq ‘alaihi[31], dan dalam riwayat Muslim, “sejajar dengan telinganya.”
3.      Berdiri jika mampu
Berdiri merupakan rukun pada sholat fardhu yang diwajibkan bagi siapa yang mampu melakukannya. Berdiri bukan termasuk rukun dalam sholat sunnah. Artinya, pada sholat sunnah, seseorang boleh duduk meski mampu untuk berdiri sekalipun. Rasulullah bersabda,
صلّ قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب
 “Sholatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka berbaring (miring) di atas lambung.” HR. Bukhori[32]
Berdiri yang dimaksudkan adalah berdiri setelah takbiratul ihram untuk membaca Al-Fatihah. Yaitu bediri sempurna, tidak menyandar dan tidak pula bungkuk. Jika seseorang terlalu membungkuk hingga terlihat seperti ruku’, maka sholatnya tidak sah.[33]
Hendaknya berdiri di atas kedua kaki. Jika seseorang bertumpu dengan sau kaki, maka sholatnya sah namun makruh, kecuali karena udzur. Makruh juga berdiri dengan merapatkan kedua kaki dan disunnahkan untuk merenggangkannya, serta menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat.[34]
Memanjangkan berdiri lebih utama daripada memanjangkan sujud. Dan memanjangkan sujud lebih utama daripada memanjangkan rukun-rukun sholat yang lain (kecuali rukun berdiri).[35] Hujjahnya adalah hadits Jabir,
“Bahwasanya Rasulullah saat ditanya, ‘sholat apa yang paling utama?’, maka beliau menjawab, ‘memanjangkan qunut’.” HR. Muslim
Yang dimaksud dengan ‘qunut’ yaitu berdiri. Dan hadits Abu Hurairah,
أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد فأكثروا الدعاء
“Saat yang paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah saat sujud.” HR. Muslim[36]
Adapun yang dimaksud dengan ‘duduk’ dalam hadits di atas adalah duduk bersila (iftirosy). Sebagian Hanafiyah mengatakan boleh duduk seperti apapun, tidak ada ketentuan. Jika tidak mampu, maka hendaknya ia berbaring dengan memiringkan tubuhnya ke arah kanan dan mengahadap kiblat. Jika tidak mampu, maka ia terlentang, dengan kaki dan kepala menghadap ke kiblat.[37]
4.      Membaca Al-Fatihah
Nabi bersabda,
لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
            “Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca pembuka kitab (Al-Fatihah).” HR. Bukhori[38]
            Ulama –kecuali Hanafiyah- bersepakat bahwa membaca Al-Fatihah adalah fardhu sholat yang wajib dibaca disetiap raka’at, pada sholat fardhu maupun nafilah. Barangsiapa meninggalkannya dengan sengaja, maka sholatnya batal, dan barangsiapa meninggalkannya karena lupa, maka ia harus mengganti raka’at –ini berlaku untuk sholat sunnah juga-.[39]
            Adapun ulama Hanafiyah, mereka mengaggap membaca Al-Fatihah adalah wajib sholat –bisa dikatakan sunnah muakkadah-, yang jika ditinggalkan dengan sengaja, maka sholatnya tidak batal, namun ia mengganti sholatnya, atau sujud sahwi jika itu karena lupa.[40] Allah berfirman,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ 
“Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Alqur’an.” QS. Al-Muzammil: 20
Yang dimaksud ayat di atas adalah ketika sholat. Maka dengan ini, Hanafiyah berpendapat bahwa yang merupakan rukun adalah membaca sesuatu dari Alqur’an secara mutlak, dan tidak dikhususkan dengan Al-Fatihah.[41]    
Membaca Al-Fatihah bagi makmum
Membaca Al-Fatihah adalah wajib bagi imam maupun munfarid.[42] Sedangkan bagi makmum, ulama’ Hanafiyyah tidak mewajibkannya, bahkan tidak mensunnahkan untuk membacanya, baik dalam sholat jahr maupun sirr.[43]
Hanabilah dan Malikiyah  tidak mewajibkan seorang makmum membacanya secara mutlak. Mereka berpendapat, saat imam membaca Al-Fatihah secara pelan, maka disunnahkan bagi makmum untuk membacanya. Malikiyah menambahkan, makruh bagi makmum membacanya pada sholat jahr, meski suara imam tidak terdengar olehnya.[44]
Berbeda dengan tiga madzhab sebelumnya, Syafi’iyah mewajibkan makmum membaca Al-Fatihah, dalam sholat jahr sekalipun. Imam An-Nawawi berkata, “Membaca Al-Fatihah bagi yang mampu untuk itu merupakan fardhu sholat dan rukun sholat. Dan ini berlaku untuk semua sholat, fardhu maupun sunnah, jahr maupun sirr. Wajib bagi imam, makmum, dan munfarid. Namun makmum tidak wajib membacanya dalam sholat jahr-ini merupakan pendapat yang lemah.”[45]
Waktu membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah adalah wajib disetiap raka’at, menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalam hal ini, Malikiyah bersandar pada hadits Abu Qotadah yang shohih,“Nabi membaca pada dua raka’at pertama sholat Zhuhur dan Ashar Al-Fatihah dan satu surat, sedang pada dua raka’at terakhir Al-Fatihah saja.” HR. Ibnu Majah[46]
Malikiyah menambahkan, jika seorang makmum tertinggal Al-Fatihah maka ia harus melakukan sujud sahwi, dan jika itu terjadi pada Sholat Shubuh, maka ia harus mengulang sholatnya.[47]
Sedangkan menurut Hanafiyah, membaca Al-Fatihah hanya diwajibkan pada dua raka’at pertama saja. Jika ia tidak membaca pada dua raka’at pertama, maka hendaknya ia membacanya pada raka’at yang tersisa.[48]  
Basmalah, apakah termasuk Al-Fatihah?
Basmalah bukanlah termasuk Al-Fatihah, sehingga ia tidak wajib dibaca, menurut pendapat Hanafiyah dan Malikiyah. Hujjah yang digunakan Malikiyah adalah hadits Anas bin Malik, “Aku berdiri (bermakmum) di belakang Abu Bakr, Umar dan Utsman. Mereka tidak membaca basmalah jika sholat.” HR. Bukhori
Adapun Syafi’iyah dan Hanabilah menganggap ia termasuk bagian dari Al-Fatihah.
Dari Ummu Salamah, “Adapun Nabi, beliau membaca dalam sholatnya: Bismillahirrahmanirrahim, dan itu merupakan ayat (dari Al-Fatihah), kemudian Alhamdulillahirabbil’alamin sebagai ayat kedua.”
Meski basmalah adalah bagian dari Al-Fatihah, namun ulama’ Hanabilah tidak mensunnahkan membaca basmalah secara jahr, senada dengan ulama’ Hanafiyah. Hujjah dalam hal ini adalah hadits qudsi dari Abu Hurairah yang mendengar Rasulullah bersabda,
قال الله تعالى قسمت الصلاة بين وبين عبدي نصفين ولعبدي ما سأل فإذا قال العبد الحمد لله رب العالمين قال الله تعالى حمدني عبدي
“Allah berkata, Aku (Allah) membagi setengah-setengah antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hamba-Ku berkata ‘alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin’, maka Aku menjawab, Hamba-Ku memuji-Ku...” HR. Muslim[49]
Pada hadits tidak menyebutkan ‘bismillahirrahmanirrahim’, melainkan langsung ke ayat tiga (alhamdulillahirabbil’alamin). Maka hadits ini dijadikan hujjah bahwa nabi tidak mengeraskan bacaan Al-Fatihah, sebagaimana beliau tidak mengeraskan bacaan do’a istiftah dan ta’awudz.[50]
Sedangkan Syafi’iyah berpendapat hendaknya membaca basmalah dengan suara jahr. Hadits yang digunakan Syafi’iyah adalah hadits Anas, beliau berkata, “Bahwasanya (Rasul) sholat dan mengeraskan ‘bismillahirrahmanirrahim’.”[51]
An-Nakha’i mengatakan, jahr dalam membaca basmalah adalah bid’ah.
Orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah
Orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah, ia harus belajar. Namun jika tidak mampu, hendaknya ia berdiri selama bacaan Al-Fatihah, ini berdasar pendapat Hanafiyah dan Malikiyah. Atau membaca Al-Fatihah dengan bahasa lain, menurut Hanafiyah.[52]
Syafi’iyah dan Hanabilah bersepakat, jika ia memiliki hafalan ayat lain selain Al-Fatihah, maka hendaknya ia membacanya berulang-ulang sejumlah ayat dalam surat Al-Fatihah.[53] Atau menggantinya dengan bertasbih dan berdzikir selama bacaan Al-Fatihah, menurut Syafi’iyah. Karena Syafi’iyah berpendapat, tidak sah mengganti Al-Fatihah dengan bahasa lain.
5.      Rukuk
Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, rukuklah dan sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” QS. Al-Hajj: 77
Ruku’ yaitu membungkukkan badan dengan kedua tangan berada di atas lutut. Disunnahkan untuk bertakbir –takbir intiqol- saat ingin ruku’. Rasulullah bersabda,
ثمّ اركع حتّى تطمئنّ راكعا
“Kemudian rukuklah, hingga kamu tumakninah dalam keadaan rukuk.” HR. Bukhori[54]
Batas minimal rukuk yaitu, seseorang membungkukkan kepala dan punggungnya semampu mungkin-hingga mendekati posisi rukuk, dengan tangan memegang lutut, dalam keadaan betis lurus.[55]
Rukuk yang sempurna adalah dengan membungkukkan kepala dan punggung sampai lurus horisontal, dengan tangan memegang lutut. Yakni dengan cara meluruskan kedua kaki dan paha, kepala dan pantat, memegang kedua lutut dengan merenggangkan jari-jari, dalam keadaan menghadap kiblat. Posisi kepala lurus, tidak diangkat ke atas, dan tidak merunduk ke bawah. [56] 
Dalil agar meletakkan kedua tangan di atas lutut adalah hadits Abu Humaid tentang sifat sholat Rasulullah, “Aku pernah melihat Rasulullah rukuk sambil meletakkan kedua tangan beliau di atas lutut, dan membungkukkan punggung beliau.”[57] Adapun tentang merenggangkan jari-jari, Abu Mas’ud Uqbah bin Amr meriwayatkan bahwa ia pernah melihat Rasul merenggangkan jari-jari saat rukuk, lalu ia berkata, “Begitulah aku melihat Rasulullah sholat.”[58]
Esensi dari rukuk adalah gerakannya, bukan bacaannya. Maka, barangsiapa rukuk, maka hendaklah ia tenang dalam keadaan itu, kemudian ia bangun dari rukuk.
6.      Bangit dari rukuk dan I’tidal
Bangkit dari rukuk yaitu seseorang mulai menegakkan punggungnya kembali setelah rukuk, untuk kembali berdiri. Sedangkan i’tidal adalah rukun yang terpisah dari rukuk, yang dilakukan sejenak sebelum sujud. 
I’tidal adalah wajib, kecuali Hanafiyah yang membolehkan untuk langsung bersujud, meski makruh.[59] Nabi bersabda,
ثمّ اركع حتّى تطمئنّ راكعا ثمّ ارفع حتّى تعتدل قائما
“Rukuklah hingga engkau tumakninah dalam rukuk, dan bangkitlah hingga engkau tumakninah dalam bangkitmu.” HR. Bukhori[60]
Yang dimaksud dengan tumakninah saat bangkit dari rukuk adalah saat i’tidal. Hadits di atas menunjukkan tentang wajibnya i’tidal setelah rukuk. Kadar lama i’tidal yaitu selama bacaan tasbih.
7.      Sujud
Sujud yaitu menyungkurkan badan di atas tanah dengan dahi menempel ke tempat sholat (lantai, tikar, dan sejenisnya selain kapas –karena dahi tidak bisa benar-benar menempel di atasnya-).
Syarat sujud adalah sejajarnya dahi dengan kedua lutut. Anggota sujud –bagian yang harus menempel ke tanah- ada tujuh; muka (dahi dan hidung), kedua tangan, kedua lutut, dan ujung jari-jari kedua kaki. Hal ini adalah berdasar hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi bersabda,
أمرت أن أسجد على سبع
“Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh anggota badan.” HR. Muslim[61]
Maliki berpendapat, jika kening atau hidung tidak sampai menempel ke tanah, maka ia mengulang sholatnya, jika waktu sholat masih tersisa.[62]
Bersujud di atas telapak tangannya dapat membatalkan sholat –kecuali Hanafiyah-.[63] Bersujud di atas sorban atau kain yang menempel di kepala adalah boleh menurut jumhur. Namun, Syafi’iyah melarangnya, dan harus sampai benar-benar menempel ke tempat sujud –bukan sekedar menyentuh-.[64] 
8.      Tumakninah
Tumakninah yaitu seseorang berdiam diri dalam suatu keadaan hingga tenang dalam keadaan tersebut. Tumakninah dalam sholat berada di empat tempat, yaitu; rukuk, i’tidal, sujud, dan duduk diantara dua sujud. Rasulullah bersabda,
ثم اركع حتى تطمئن راكعا ثم ارفع حتى تعتدل قائما ثم اسجد حتى تطمئن ساجدا ثم ارفع حتى تطمئن جالسا
“Rukuklah hingga engkau tumakninah dalam rukuk, dan bangkitlah hingga engkau tumakninah dalam bangkitmu, lalu bersujudlah hingga engkau tumakninah dalam keadaan sujud, dan bangkitlah hingga engkau tumakninah dalam dudukmu.” HR. Bukhori[65]
Jumhur mengatakan, tumakninah adalah rukun sholat. Adapun Hanafiyah mengkategorikan itu termasuk sunnah.[66] Batas minimal tumakninah yaitu, seseorang berdiam dalam keadaannya hingga semua anggota badan tenang selama kira-kira selesai membaca tasbih.[67]
9.      Duduk antara dua sujud
Sama seperti i’tidal, Hanafiyah mengatakan bahwa duduk di antara dua sujud adalah sunnah.[68] Sedang jumhur menggolongkannya termasuk rukun sholat yang wajib dilakukan. Rasulullah bersabda,
ثمّ ارفع حتّى تعتدل جالسا
“Kemudian bangkitlah (dari sujud) hingga kamu benar-benar duduk.”[69]
Yakni duduk dengan meletakkan tangan di atas paha, dekat dengan lutut, sambil merenggangkan jari-jari kedua tangan.[70] Jika seseorang bersujud, kemudian mengangkat kepalanya, kemudian bersujud lagi tanpa duduk, maka sholatnya tidak sah.[71]
10.  Duduk terakhir, tasyahud, dan sholawat kepada Nabi
Ketiga hal ini terletak di akhir sholat, yaitu sebelum seseorang mengakhiri sholatnya dengan salam. Ulama bersepakat bahwa ketiganya merupakan rukun.
Duduk terakhir
Ulama bersepakat bahwa duduk terakhir merupakan rukun sholat. Namun, mereka berbeda pendapat tentang batasannya (kadar lamanya).[72] Hanafiyah berpendapat, kadar lamanya duduk yang diwajibkan yaitu selama bacaan tasyahud.[73]
Malikiyah berpendapat bahwa kadar lama yang diwajibkan yaitu seperti i’tidal. Kadar lama yang disunnahkan yaitu selama bacaan tasyahud. Adapun yang dimandubkan[74] yaitu ditambah dengan sholawat kepada Nabi, dan yang lebih dimandubkan yaitu dengan membaca do’a. Namun jika disambung lagi dengan dzikr atau do’a setelah sholat, maka makruh.[75]  
Syafi’iyah berpendapat, bahwa kadar lama yang diwajibkan adalah selama bacaan tasyahud, sholawat kepada Nabi, dan salam pertama, karena ketiganya merupakan ujung dari sholat. Adapun penambahan do’a dan salam kedua merupakan sunnah. Adapun Hanabilah, berpendapat bahwa batas duduk akhir yaitu selama bacaan tasyahud dan dua salam.[76] 
Tasyahud akhir
Tasyahud dan sholawat dalam duduk akhir adalah wajib, dan batal sholat seseorang tanpanya. Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa itu termasuk sunnah, dan yang merupakan rukun adalah duduk untuk salam.[77]
 Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa tasyahud adalah wajib, Ibnu Abbas meriwayatkan,
كان رسول الله يعلّمنا التشهد كما يعلّمنا السورة من القران
“Rasulullah mengajarkan tasyahud kepada kami, seperti beliau mengajarkan satu surat Alqur’an.” HR. Muslim[78]
Hadits di atas menunjukkan wajibnya tasyahud, karena di kalangan fuqoha’[79] terdapat semacam aturan dasar bahwa kata-kata Nabi adalah wajib, sampai ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.
Lafal (bacaan) tasyahud ada tiga macam.[80] Yaitu berdasar pendapat Ibnu Abbas -yang diambil oleh madzhab Hanbali dan Syafi’i-, Ibnu Umar –yang dianut oleh Malikiyah-, dan pendapat Ibnu Mas’ud –sebagaimana yang dipraktekkan oleh madzhab Hanafiyah-.
Adapun bacaaan tasyahud tersebut[81], sebagai berikut :
a.       Tasyahud menurut Ibnu Abbas
التَّحِيَّاتُ المباركات الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لله السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
b.      Tasyahud menurut Ibnu Umar
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ, الزاكيات لله الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
c.       Tasyahud menurut Ibnu Mas’ud
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Sholawat kepada Nabi
Sholawat kepada Nabi merupakan rukun sholat, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah.[82] Adapun lafazh sholawat[83] yaitu,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى َآلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
            “Ya Allah, berilah sholawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau memberi sholawat kepada keluarga Ibrahim, sungguh Engkau Maha Terpuji, Maha Pengasih. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau memberkahi keluarga Ibrahim, sungguh Engkau Maha Terpuji, Maha Pengasih.”
            Posisi duduk saat tasyahud akhir adalah duduk tawarruk.[84] Adapun Hanafiyyah berpendapat duduk adalah duduk iftirasy.[85]
Orang yang tidak bisa membaca tasyahud atau sholawat, maka ia boleh membaca dengan terjemahnya.[86]
11.  Salam
Salam adalah pertanda usainya ibadah sholat, ia termasuk rukun dan bagian dari sholat itu sendiri.[87] Pendapat yang mewajibkan bersandar pada hadits Nabi,
و تحليلها التسليم
“...dan penghalalanya (dari perbuatan lain) adalah salam.” HR. Abu Dawud[88]
Namun Hanafiyah berpendapat, salam tidaklah termasuk rukun sholat, dan bukan bagian dari sholat.[89] Hujjahnya adalah perkataan Rasulullah saat mengajarkan tasyahud kepada Ibnu Mas’ud,
إذا قلت هذا فقد قضي صلاتك
            “Jika kamu telah membaca ini (tasyahud), maka sholatmu selesai.”[90]
Malikiyah berpendapat bahwa salam cukup sekali, dan tidak ada salam kedua.[91] Sedangkan jumhur mengatakan, salam itu dua kali, yang pertama dihukumi wajib, dan yang kedua adalah sunnah.
Lafal salam adalah, السلام عليكم dan tidak boleh menggunakan lafazh yang selain itu. Jika seseorang dengan sengaja mengucapkan lafazh selain itu (seperti عليكم السلام, سلام الله عليكم), maka sholatnya batal. Namun Syafi’iyah mengatakan, tertib bukan merupakan syarat salam, maka jika seseorang mengucapkan عليكم السلام maka sholatnya sah, namun makruh.[92]
Apa yang diniatkan saat salam?
Menurut Hanafiyah, niat dalam salam adalah untuk menyalami siapapun yang berada di samping kanan kirinya, baik itu manusia, malaikat penjaga, bahkan jin.[93]
Malikiyah berpendapat, salam pertama adalah untuk keluar dari sholat. Sedangkan salam kedua adalah menjawab salamnya imam (untuk makmum). Bahkan untuk makmum adalah tiga kali, yaitu salam untuk orang yang berada di sampingnya.[94]
Syafi’iyah mengatakan, bagi orang yang sholat munfarid, maka salam adalah untuk yang berada di samping kanan kirinya. Bagi imam, maka salam pertamanya adalah salam keluar dari sholat, sedang salam keduanya adalah untuk para makmum. Dan bagi makmum, maka salamnya adalah untuk menjawab salamnya imam.[95]
Adapun Hanabilah, mereka berpendapat bahwa salamnya adalah salam keluar dari sholat.[96]
12.  Niat keluar dari sholat
Menurut pendapat Syafi’iyah yang paling shohih, niat keluar dari sholat adalah tidak wajib. Namun, menurut Malikiyah, disunnahkan untuk keluar dari khilaf, yaitu berniat untuk keluar dari sholat. Niat keluar dari shlat disunnahkan dilakukan bersamaan dengan dua salam, menurut Hanabilah. Ini dilakukan untuk membedakan antara sholat dengan ibadah lain, sebagaimana takbiratul ihram. [97]
Jika seseorang tidak melakukannya, maka sholatnya batal, menurut Hanabilah. Namun riwayat dari Imam Ahmad menyebutkan, bahwa sholatnya tidak batal. 
13.  Tertib
Tertib dalam rukun merupakan suatu yang lazim –fardhu- untuk dilakukan. Jika seseorang mendahulukan sujud atas rukuk, rukuk atas berdiri, atau semacamnya, maka sholatnya batal.[98]
Sedangkan Hanafiyah berpendapat bahwa tertib dalam rukun bukanlah rukun sholat, namun syarat sah sholat. Hal ini dikarenakan, Hanafiyah menganggap membaca Al-Fatihah bukanlah rukun. Maka, jika seseorang melakukan rukuk sebelum berdiri, maka rukuknya tidak dianggap. Hendaknya ia mengulang rukuknya –melakukannya setelah berdiri- kemudian bersujud seperti biasa. Jika ia melakukannya karena lupa, ia wajib sujud sahwi. Namun jika itu adalah kesengajaan, berarti sholatnya batal. Ini berbeda jika seseorang tidak membaca Al-Fatihah saat berdiri –karena Al-Fatihah bukanlah rukun menurut Hanafiyah- maka sholatnya sah. Hal ini dikarenakan membaca Al-Fatihah diwajibkan pada dua raka’at saja, maka jika ada satu raka’at yang terlewat dari Al-Fatihah, ia bisa menggantinya di raka’at lain.[99]   
E.     Penutup
Rukun-rukun sholat merupakan pondasi dari sholat itu sendiri. Tidak akan sempurna sholat seseorang jika salah satu dari rukun-rukun tersebut tidak dipenuhi. Secara garis besar, rukun sholat terbagi menjadi dua; yaitu rukun qouliy (perkataan) dan rukun fi’liy (perbuatan).
Niat merupakan dasar rukun, yang dengannya suatu aktivitas dapat bernilai ibadah, dan bukan hanya gerak badan. Berdiri, rukuk, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, dan duduk akhir, merupakan rukun-rukun sholat yang bersifat fi’liy, maka esensinya adalah gerakannya, perbuatannya, dan bukan bacaannya. Sedangkan rukun lain seperti; takbir, membaca Al-Fatihah, tasyahud, dan salam merupakan rukun qouliy, sehingga esensinya adalah ucapannya.
Adapun mengenai perbedaan pendapat tentang beberapa hal di kalangan ulama’, maka itu hanyalah dari segi penggolongannya saja. Apakah itu termasuk fardhu atau sunnah, dan sejenisnya. Perbedaan pendapat di bidang Fiqh merupakan rahmat, maka alangkah baik jika perkara ini disikapi dengan baik.
Demikian makalah tentang rukun sholat yang penulis susun, semoga bisa bermanfaat bagi umat Islam seluruhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an al-Karim
Al-Andalusi, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd al-Qurthubi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Cet. ke-1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012
Al-Azdy, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani. Sunan Abi Dawud. Cet. ke-1. Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1997. jild. 1
Al-Bukhori, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. al-Jami’ as-Shohih. Cet. ke-1. Kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H. jild.1
Al-Jawi, Muhammad Nawawiy bin Umar. Kasyifat as-Saja. Cet. ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008
Al-Jazairi, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Cet. ke-4. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011. jild. 1
Al-Maqdisi, Muwaffaquddin bin Qudamah. al-Mughni ‘ala Mukhtashor al-Khiraqi. Cet. ke-1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008. jild.1
An-Naisabury, Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim. Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah, 1997. jild.1
An-Nawawy, Muhyiddin. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Cet. ke-2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011. jild. 4
As-Syafi’i, Imam Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad al-Husaini Ad-Dimasyqi, Kifayat al-Akhyar. Cet. ke-6. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012. jild.1
As-Syafi’i, Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani. Rahmat al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aímmah. Cet. ke-1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu. Cet. ke-4. Depok: Gema Insani, 2013. penj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk. jild.2
Az-Zuhaili, Wahbah, Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012, jild. 1
Ibnu al-Farra’, Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad. at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam as-Syafi’i. Cet. ke-1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997. jild. 2
Unais, Ibrahim. Mu’jam al-Wasith. Cet. ke-2. tp. tt.




[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, cet. ke-4, (Depok: Gema Insani, 2013), penj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jild.2, hlm. 21
[2] Ibrahim Unais, Mu’jam al-Wasith, hlm. 395
[3] Ibid, hlm. 547
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam, jild.2, hlm. 21
[5] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), jild. 1,  hlm. 169
[6] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala…, jild. 1,  hlm. 190
[7] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 191
[8] Imam Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad al-Husaini Ad-Dimasyqi as-Syafi’i, Kifayat al-Akhyar, cet. ke-6, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), jild.1, hlm. 153
[9] Ibid, hlm. 192
[10] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 194
[11] Imam Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad al-Husaini Ad-Dimasyqi as-Syafi’i, Kifayat..., jild.1, hlm. 153
[12] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 196
[13] Muhyiddin an-Nawawy, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, cet. ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011), jild. 4, hlm. 257
[14] Ibid
[15] Ibid 
[16] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 198
[17] Imam an-Nawawiy dan al-Ghozali adalah ulama madzhab Syafi’i
[18] Muhyiddin an-Nawawy, al-Majmu’, jild. 4, hlm. 258
[19] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 200
[20] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani al-Azdiy, Sunan Abi Dawud, cet. ke-1, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1997), jild. 1, hlm. 291, no. hadits 618
[21] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1 hlm. 199
[22] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani al-Azdiy, Sunan Abi Dawud..., jild.1, hlm. 291, no. hadits 618
[23] Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, cet. ke-1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), hlm. 125
[24] Imam Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad al-Husaini Ad-Dimasyqi as-Syafi’i, Kifayat..., jild.1, hlm. 156
[25] Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’, at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam as-Syafi’i , cet. ke-1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), jild. 2, hlm. 80
[26] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 200
[27] Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’, at-Tahdzib..., jild. 2, hlm. 81
[28] Muhammad Nawawiy bin Umar al-Jawi, Kasyifat as-Saja, cet. ke-1, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008), hlm. 101 
[29] Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah, 1997), jild.1, hlm. 167, no. hadits 390
[30] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aímmah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), cet. ke-1, hlm. 28
[31] Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim..., jild.1, hlm. 167, no. hadits 390
[32] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, al-Jami’ as-Shohih, (Kairo: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H), jild.1, hlm. 348, hadits no.1117
[33] Imam Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad al-Husaini Ad-Dimasyqi as-Syafi’i, Kifayat..., jild.1, hlm. 158
[34] Muhyiddin an-Nawawy, al-Majmu’..., jild. 4, hlm. 253
[35] Ibid
[36] Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim..., jild. 1, hlm. 200, no. hadits. 482
[37] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 28
[38] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, al-Jami’..., jild. 1, hlm. 247, no. hadits 756
[39] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 207
[40] Ibid, hlm. 208
[41] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 208
[42] Munfarid adalah orang yang sholat sendiri (tidak berjama’ah)
[43] Sholat jahr adalah sholat dimana imam membaca Al-Fatihah dengan suara keras, lawan katanya adalah sholat sirr
[44] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 29
[45] Muhyiddin an-Nawawy, al-Majmu’..., jild. 4, hlm. 296
[46] Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidayat al-Mujtahid..., hlm. 129
[47] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 29
[48] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 208
[49] Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim..., jild.1, hlm. 169, no. hadits 395
[50] Muwaffaquddin bin Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala Mukhtashor al-Khiraqi, (Beirut: Da r al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), cet. ke-1, jild.1, hlm. 383
[51]  Ibid
[52] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala...,  jild. 1, hlm. 209
[53] Ibid
[54] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, al-Jami’..., jild. 1, hlm. 247, no. hadits 757
[55] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala...,  jild. 1, hlm. 211
[56] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., jild. 2, hlm. 45
[57] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., jild. 2, hlm. 46
[58] Ibid
[59] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 30
[60] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, al-Jami’..., jild. 1, hlm. 247, no. hadits 757
[61] Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim..., jild.1, hlm. 202, no. hadits 490
[62] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 31
[63] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala...,  jild. 1, hlm. 211
[64] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 31
[65] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, al-Jami’..., jild. 1, hlm. 247, no. hadits 757
[66] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 30
[67] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., jild. 2, hlm. 51
[68] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 31
[69] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, al-Jami’..., jild. 1, hlm. 247, no. hadits 757
[70] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., jild. 2, hlm. 52
[71] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 216
[72] Ibid, hlm. 213
[73] Ibid
[74] Mandub merupakan nama lain dari sunnah, namun lebih spesifik dari sunnah
[75] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 213
[76] Ibid
[77] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., jild. 2, hlm. 52
[78] Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim..., jild.1, hlm. 173, no. hadits 403
[79] Fuqoha’ yaitu ahli Fiqh
[80] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 31
[81] Ibid
[82] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 241
[83] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, al-Jami’..., jild. 4, hlm. 163, no. hadits 6357
[84] Duduk tawarruk adalah posisi duduk dengan menyentuhkan kedua pantat ke tempat sholat, menegakkan kaki sebelah kanan dan membengkokkan kaki sebelah kiri (Imam Malik dalam Bidayat al-Mujtahid, hlm. 136)
[85] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., jild. 2, hlm. 54
[86] Imam Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad al-Husaini Ad-Dimasyqi as-Syafi’i, Kifayat..., jild.1, hlm. 165
[87] Ibid
[88] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani al-Azdiy, Sunan Abi Dawud..., jild.1, hlm. 291, no. hadits 618
[89] Shadruddin Muhammad bin Abdur Rahman al-Utsmani as-Syafi’i, Rahmat al-Ummah..., hlm. 32
[90] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 215
[91] Ibid
[92] Ibid
[93] Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidayat al-Mujtahid..., hlm. 132
[94] Ibid
[95] Ibid
[96] Muwaffaquddin bin Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni..., jild.1, hlm.
[97] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy, cet. ke-3, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2012), jild. 1, hlm. 714
[98] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala..., jild. 1, hlm. 217
[99] Ibid, hlm. 218

0 komentar:

Posting Komentar